Hai semuanya!!! Kembali lagi nih sama Aku... :-D Kali ini Aku akan memposting mengenai Filsafat Farmasi. Apa sih Filsafat Farmasi itu? Pasti teman-teman sekalian juga bingung kan tentang apa itu Filsafat Farmasi. Aku jelasin yaa.. :-)
Falsafah = Falsafat dalam bahasa yunani disebut Philosophia (phileim
: cinta, sophos: hikmah) yaitu cara berfikir menurut logika dan bebas sedalam
dalamnya sampai ke dasar persoalan. Manusia terdorong untuk menemukan suatu
orientasi hidup yang dapat memberi arah dan pegangan bagi perbuatan dan
perilakunya. Orientasi tersebut adalah falsafat pra ilmiah yang jika berkembang dalam kehidupan
sehari hari secara spontan keluar dari perasaan.
Berbagai konsep dasar dan teori dalam ilmu fisiologi, patologi,
farmakologi, farmakognosi, fitokimia, kimia analisis, kimia sintesis,
kimia medisinal, farmasetika/formulasi obat dapat ditemukan pada tiap
jaman dalam sejarah perkembangan kefarmasian. Mitologi, konsep dan
praktek pengobatan, praktisi/profesi pengobatan, bentuk sediaan obat
serta bahan obat di berbagai jaman atau di suatu kebudayaan tertentu
ternyata tidak hanya mendasari dan mempengaruhi perkembangan ilmu
kefarmasian dan ilmu kedokteran saat ini; namun juga mendasari dan
mempengaruhi perkembangan ilmu pengobatan tradisional di suatu suku
bangsa tertentu, bahkan beberapa konsep dasar masih dipakai dalam sistem
pengobatan tersebut.
Pada pokok bahasan kali ini akan dijelaskan berbagai pemikiran
filosofis, berbagai aspek dan perkembangan ilmu kefarmasian berdasarkan
urutan sejarah yang dimulai dari jaman pra sejarah, jaman
Babylonia-Assyria, jaman Mesir kuno, jaman Yunani kuno dan jaman abad
pertengahan.
Falsafah Obat dan Pengobatan
Semenjak dunia terkembang dan dihuni oleh manusia serta makhluk hidup
lainnya mungkin sudah ada penyakit dan usaha untuk mengobatinya.
Keadaan “sehat” dan “sakit” adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan;
ini berlaku bagi semua makhluk hidup : di dunia insani, dunia hewani
maupun di dunia tumbuh-tumbuhan sekalipun1. Bagi makhluk hidup,
mengobati suatu penyakit atau gangguan adakalanya merupakan salah satu
usaha untuk mempertahankan eksistensinya. Di dunia tumbuh-tumbuhan
dikenal suatu produk metabolisme selain produk metabolisme utama yang
disebut sebagai metabolit sekunder. Beberapa contoh metabolit sekunder
misalnya : alkaloida, glikosida, terpenoid, flavonoid dan lain
sebagainya merupakan racun bagi makhluk lainnya2. Seekor binatang yang
sehat tidak akan memakan daun oleander yang mengandung glikosida yang
berbahaya bagi jantung, juga tidak akan ada yang memakan daun kecubung
yang mengandung alkaloida golongan tropan yang bekerja sebagai
antikolinergik/parasimpatolitik yang sangat beracun. Umumnya tumbuhan
yang mengandung zat beracun tersebut tidak akan mendapat gangguan dari
binatang, karena secara naluriah akan dihindarinya.
Sekarang bagaimana dengan seekor binatang yang sakit? Secara naluriah
seekor binatang yang sakit akan mencari sesuatu dari alam sekelilingnya
demi untuk mempertahankan hidupnya. Cukup sering dilihat seekor anjing
atau kucing mencari rerumputan atau daun-daunan tertentu; yang memiliki
efek memabukkan/membunuh cacing dan sekaligus
mengeluarkan/memuntahkannya dari saluran pencernaannya. Dengan demikian
ia “mengobati dirinya sendiri” dengan mensuplai tubuhnya dengan
bahan/zat/hara yang diperlukannya. Sebagai ilustrasi dari mempertahankan
eksistensi atau keturunan ialah ayam petelur yang lepas (bukan ayam
broiler) mematuk atau mencukil dinding tembok untuk mendapatkan zat
kapur yang diperlukan untuk pembentukan kulit telur. Kekurangan akan zat
kapur disuplainya secara naluriah.
Bagaimana keadaannya dengan manusia?Yang membedakan manusia dengan
hewan adalah “akal”. Akan tetapi, manusia purba dan manusia yang masih
hidup primitif (dimana akal masih kurang berkembang) eksistensinya
hidupnya juga masih banyak dipengaruhi oleh nalurinya. Bagaimana
keadaannya dengan manusia primitif yang sakit atau kekurangan akan suatu
zat/hara dalam sistem faalnya? Contoh berikut dapat memberikan suatu
gambaran : suatu suku bangsa primitif mempunyai kebiasaan memakan tanah.
Mulanya hal ini mengherankan, tetapi setelah diadakan penelitian lebih
mendalam ternyata ada dua hal yang berkaitan : pertama, tanah yang
dimakan banyak mengandung zat besi (Fe); kedua, diit sehari-hari suku
tersebut kurang akan zat besi. Secara naluriah suku itu mencari zat besi
dari tanah, sehingga mereka tidak akan menderita penyakit anemia karena
kekurangan zat besi .
Farmasi Jaman Pra Sejarah
Diantara beberapa karakteristik yang unik dari Homo sapiens adalah
kemampuannya untuk mengatasi penyakit, baik fisik maupun mental dengan
menggunakan obat-obatan. Dari bukti arkeologi didapatkan bahwa pencarian
terhadap obat-obatan setua pencarian manusia terhadap peralatan lain.
Seperti halnya bebatuan yang digunakan untuk pisau dan kapak,
obat-obatan pun jarang sekali tersedia dalam bentuk siap pakai.
Bahan-bahan obat tersebut harus dikumpulkan, diproses dan disiapkan;
kemudian digabungkan menjadi satu untuk digunakan dalam pengobatan.
Aktivitas ini, telah dilakukan jauh sebelum sejarah manusia dimulai dan
sampai sekarang tetap menjadi fokus utama praktek kefarmasian.
Manusia purba belajar dari insting atau naluri, dengan melakukan
pengamatan terhadap hewan. Pertama kali mereka menggunakan air dingin,
sehelai daun, debu, bahkan lumpur untuk pengobatan4. Naluri untuk
menghilangkan rasa sakit pada luka dengan merendamnya dalam air dingin
atau menempelkan daun segar pada luka tersebut atau menutupinya dengan
lumpur, hanya berdasarkan kepercayaan. Manusia purba belajar dari
pengalaman dan mendapatkan cara pengobatan yang satu lebih efektif dari
yang lain. Dari sinilah permulaan terapi dengan obat dimulai. Mereka
menularkan pengetahuan ini kepada sesamanya. Walupun metode yang mereka
gunakan masih kasar, akan tetapi banyak sekali obat-obatan yang ada saat
ini diperoleh dari sumbernya dengan metode sederhana dan mendasar
seperti yang telah mereka lakukan.
Farmasi Jaman Babylonia-Assyria
Pada daerah selatan kerajaan Babylonia (sekarang Iraq), bangsa
Sumeria telah mengembangkan sistem tulis-menulis sekitar tahun 3000 SM
sehingga mereka telah memasuki periode sejarah. Bangsa Babylonia
melakukan observasi terhadap planet-planet dan bintang-bintang yang
mendasari ilmu astronomi dan astrologi saat ini. Kedudukan dan gerakan
bintang-bintang diduga mempengaruhi kejadian di bumi. Kepercayaan ini
kemudian diadopsi oleh ilmu kedokteran dan kefarmasian berikutnya.
Bangsa Sumeria dan pewarisnya yakni bangsa Babylonia dan Assyria telah
meninggalkan ribuan tablet lempung dalam puing-puing peninggalan mereka
sebagai salah satu peninggalan peradaban manusia yang paling berharga.
Sejarah mereka terkubur rapat-rapat dalam tablet lempung tersebut hingga
berabad-abad berikutnya sekelompok sejarahwan berhasil mengungkap
“bagian yang hilang” dari catatan-catatan kuno ini.
Dari penelitian terhadap catatan-catatan kuno tersebut disebutkan 3
aspek yang paling berpengaruh dalam ilmu pengobatan Babylonia-Assyria
yakni : ketuhanan (divination), pengusiran roh jahat/setan (excorcism)
dan penggunaan obat-obatan. Tiga aspek tersebut merupakan satu-kesatuan
yang sulit untuk dipisahkan. Penyakit adalah kutukan atau hukuman Tuhan,
sedangkan pengobatan adalah pembersihan/pensucian dari kedua hal
tersebut. Konsep tersebut dikenal sebagai katarsis (catharsis). Konsep
ini menjelaskan makna asli kata “pharmakon” (Yunani), yang merupakan
asal kata pharmacy (farmasi). Konsep pharmakon dijelaskan sebagai
berbagai usaha penyembuhan atau pensucian dengan cara mengeluarkan atau
membersihkan. Yang menarik, di dalam farmakologi (ilmu tentang obat dan
mekanisme kerjanya) dikenal obat katartik atau pencahar, yakni obat yang
bekerja meningkatkan motilitas kolon (usus besar) sehingga meningkatkan
pengeluaran tinja (feses).
Para pendeta di masa itu berperan sebagai rohaniwan (diviner) dan
pengusir setan, yang mendukung peran mereka sebagai penyembuh/dokter.
Dalam literatur lain disebutkan bahwa terdapat pemisahan profesi
penyembuh di antara bangsa Babylonia, yakni penyembuh empiris dan
penyembuh yang spiritualis. Penyembuh spiritualis dikenal sebagai asipu,
yang menekankan pada penggunaan mantra/doa-doa bersama dengan batu-batu
bertuah/jimat-jimat dalam pengobatan.
Pada salah satu tablet lempung tercatat adanya mantra/doa yang
tertulis di awal dan di akhir suatu formula obat. Mantra/doa tersebut
diharapkan memberi kekuatan menyembuhkan kepada obat-obatan yang telah
dibuat. Fenomena ini mungkin masih sering dijumpai di berbagai
pengobatan tradisional atau pengobatan alternatif bangsa kita. Penyembuh
empiris dikenal sebagai asu, yang menggunakan obat/ramuan tertentu
dalam bentuk sediaan farmasi yang sekarang masih digunakan seperti :
pil, supositoria, enema, bilasan, dan salep. Kedua penyembuh tersebut
seringkali bekerjasama dalam menangani penyakit yang berat/sulit
disembuhkan. Selain kedua penyembuh tersebut terdapat sekelompok orang
yang juga meracik obat dan kosmetik yang disebut pasisu. Akan tetapi
peranan dan kedudukan mereka dalam pengobatan belum diketahui secara
pasti.
Obat-obatan
R. Campbell Thompson mendapatkan
ratusan tablet lempung dari hasil penggalian perpustakaan raja
Assurbanipal dari Assyria. Thompson telah berhasil mengidentifikasi 250
tanaman obat dan 120 obat-obat mineral, juga minuman beralkohol, lemak
dan minyak, bagian tubuh hewan, madu, lilin, serta berbagai susu yang
digunakan dalam pengobatan. Bahkan juga dikenal penggunaan kotoran
(tinja) hewan atau manusia dalam salah satu metode pengobatan bangsa
Babylonia-Assyria. Kotoran tersebut diharapkan dapat membuat jijik dan
mengusir roh jahat yang merasuki tubuh pasien dengan segera. Tumbuhan
obat yang dikenal saat itu misalnya pine turpentine, styrax, galbanum,
hellebore, myrrh, asafoetida, calamus, ricinus, mentha, opium,
glycyrrhyza, mandragora, cannabis, crocus serta thymus. Sebagian besar
tumbuhan tersebut masih digunakan untuk pengobatan hingga saat ini.
Berbagai bentuk sediaan yang ada meliputi anggur obat, mikstura,
salep, enema, tapel, plester, losio, infusa, dekok dan fumigan. Pada
catatan kefarmasian yang tertua (ditulis oleh bangsa Sumeria ± 4000
tahun yang lalu) terdapat berbagai macam formula obat, dimana
komposisinya ditulis tidak kuantitatif sebagai berikut :
“Haluskan biji carpenter, gom resin markasi dan thymi; larutkan dalam bir untuk diminum”.
Hal ini cukup mengherankan mengingat mereka adalah penemu sistem
pengukuran dan penimbangan yang memberikan kontribusi berharga kepada
peradaban manusia.
Jimat, mantra dan sihir menjadi bagian dari kebudayaan bangsa
Mesopotamia. Seperti yang telah diuraikan, pada salah satu formula obat
terdapat tulisan mantra/doa yang memberikan kekuatan menyembuhkan kepada
obat yang dibuat. Bahan-bahan tertentu untuk membuat obat tersebut
mungkin saja telah memiliki kekuatan menyembuhkan walaupun tanpa
intervensi para pendeta melalui mantra atau doa-doa mereka yang sekarang
kita kenal sebagai bahan yang aktif secara farmakologi. Namun demikian
ada dua hal yang diwariskan kepada kita; yang pertama adalah pengetahuan
tentang bahan-bahan tertentu yang memiliki kekuatan “supernatural”
(terutama tumbuhan obat) dan yang kedua adalah konsep mempengaruhi
fungsi tubuh dengan menggunakan bahan-bahan (obat) tersebut, yang
sekarang dikenal sebagai farmakoterapi.
Mitologi dan Seni Pengobatan
Dewa Ea dan Gula adalah dewa-dewa bangsa
Babylonia-Assyria yang paling sering disebut dalam mantra-mantra yang
terdapat dalam formula-formula obat. Dewa pengobatan yakni Ninazu,
adalah pelindung para penyembuh/pendeta. Sedangkan putranya yakni
Ningischzida adalah nabi mereka. Suatu hal yang cukup menarik adalah
simbol kedua dewa tersebut adalah tongkat dan ular, yang mengingatkan
simbol ilmu kedokteran modern yang diadopsi dari bangsa Yunani ratusan
tahun kemudian.
Farmasi Jaman Mesir Kuno
Piramida yang masih berdiri dengan kokoh hingga saat ini merupakan
bukti kekuatan dan kejayaan bangsa Mesir selain pembalseman mayat-mayat
(mumi), lukisan dinding dan harta benda di kompleks-kompleks pemakaman.
Bangsa Mesir mencatat kejadian-kejadian pada saat itu atau ide-ide
mereka (misalnya sistem pengairan dan pertanian) dengan menulisnya di
papyrus atau dalam bentuk hyeroglyph mulai tahun 3000 SM, sebelum mereka
mengembangkan peradaban dengan teknologi metalurgi (penempaan logam)
yang maju. Mereka berdagang dan kadang berperang dengan negeri-negeri
sekitarnya di sebelah timur Mediterania dan Afrika.
Seperti halnya di Babylonia, pada catatan peninggalan Mesir
menunjukkan hubungan yang dekat antara penyembuhan supranatural dengan
penyembuhan empiris. Resep/formula obat biasanya diawali dengan doa atau
mantra tertentu. Di dalam formula-formula tersebut disebutkan obat-obat
yang lebih rumit, bentuk sediaan yang lebih banyak dan teknik pembuatan
yang mendetil. Mungkin yang paling terkenal dari catatan yang ada
adalah Ebers Papyrus, suatu kertas bertulisan yang panjangnya 60 kaki
dan lebarnya satu kaki dari abad ke-16 SM. Dokumen ini sekarang berada
di University of Leipzig, untuk mengingat seorang ahli tentang Mesir,
berkebangsaan Jerman, bernama Georg Ebers, yang menemukan dokumen
tersebut di kuburan suatu mumi dan menerjemahkannya sebagian, selama
setengah dari akhir abad ke-19.
Sebagaian besar isi Papirus Ebers adalah formula-formula obat, yang
menguraikan lebih dari 800 formula. Selain itu disebutkan juga sekitar
700 obat-obatan yang berbeda. Obat-obatan tersebut terutama berasal dari
tumbuhan walupun tercatat juga obat-obatan yang berasal dari mineral
dan hewan. Obat-obatan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan sampai sekarang
masih dipakai, antara lain seperti akasia, biji jarak, adas, disebut
bersama-sama dengan yang berasal dari mineral, seperti besi oksida,
natrium bikarbonat, natrium klorida dan sulfur. Kotoran hewan juga
digunakan dalam pengobatan seperti halnya di Babylonia. Dalam literatur
lain disebutkan bahwa psyllium disebutkan dalam Papirus Ebers dan
dikenal sebagai laksatif dan antidiare sekitar tahun 1500 SM. Saat ini
psyllium lebih dikenal dengan nama dagang Metamucil yang sering dijumpai
di apotek.
Bahan pembawa sediaan (vehiculum) yang dipakai adalah bir, anggur,
susu dan madu. Madu dan lilin juga sering digunakan sebagai bahan
pengikat (binders) dalam formula-formula tersebut. Mortir, penggiling
tangan, ayakan dan timbangan biasa digunakan oleh orang Mesir dalam
membuat supositoria, obat kumur, pil, obat hisap, troikisi, lotio, salep
mata, plester dan enema; seperti halnya dalam peracikan obat-obatan
(teknologi farmasi) saat ini.
Berbeda dengan formula-formula bangsa Babylonia yang ditulis secara
kualitatif saja, formula-formula Mesir kuno ditulis secara kuantitatif.
Dikenal satuan ro (1 ro = ± 15 ml). Selain itu juga ditulis lama
pengobatan (terapi) empat hari yang merupakan lama pengobatan yang umum
di Mesir saat itu, yang mungkin lebih menekankan aspek “sihir”nya
dibanding hasil observasi klinis. Di bawah ini adalah salah satu contoh
formula tersebut :
Formula untuk membersihkan purulensi :Hyoscyamus 20 roDates 4 roWine 5
roAss’s milk 20 roDi rebus, dipekatkan dan diminum selama empat hari.
Salinan formula-formula obat disebarluaskan dari satu penyembuh ke
penyembuh lainnya, juga dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kadangkala sebagian obat diambil dari formula aslinya dan dikombinasikan
begitu saja dengan obat-obat lain dari formula yang berbeda.
Kemungkinan besar hal ini merupakan awal munculnya pengobatan yang
disebut dengan “polifarmasi” (poli = banyak, farmasi = obat) yang kelak
diketahui sebagai salah satu metode pengobatan yang tidak rasional.
Mitologi Mesir
Praktek kefarmasian telah dikenal dalam mitologi
Mesir. Seperti halnya di Babylonia, bangsa Mesir juga mengenal dewa-dewa
yang berpengaruh dalam pengobatan seperti Thoth, Osiris, Isis, Horus
dan Imhotep. Salah satu simbol yang menghubungkan praktek kefarmasian
saat ini dengan mitologi kuno adalah simbol Rx, yang dijumpai dalam
penulisan resep di seluruh dunia. Sebagian besar pendapat menyatakan
bahwa simbol tersebut berasal dari simbol mata Horus, dewa elang bangsa
Mesir. Horus selalu mengawasi setiap proses pembuatan obat, sebagai
simbol bahwa profesi farmasis selalu mendapat pengawasan dari Tuhan
sehingga setiap pelaku profesi ini harus selalu bekerja dengan baik,
cermat dan jujur karena Tuhan selalu melihat dan mengawasi mereka.
Horus ditugaskan oleh Isis, ibunya sebagai penjaga balai pengobatan
(house of medicine) para dewa. Sedangkan tugas menjaga bejana
pembalseman diberikan kepada dewa lain, yakni anepu (bangsa Yunani
menyebutnya anubis) yang mungkin dianggap sebagai farmasis para dewa
selain sebagai dewa kematian.
Farmasi Jaman Yunani Kuno
Pada milenium berikutnya, akar dari profesi kesehatan di dunia Barat
muncul dan berkembang dari peradaban bangsa Yunani di kepulauan dan laut
Aegea. Bangsa Yunani mendapatkan berbagai stimuli dan pengaruh dari
luar yakni dari Mesopotamia dan Mesir, walaupun jika dibandingkan
terdapat perbedaan yang sangat besar antara obat dan bentuk pengobatan
yang digunakan.
Mitologi Yunani
Dalam mitologi Yunani yang dikenal sebagai dewa pengobatan awalnya
adalah Apollo, yang kemudian digantikan oleh Asklepios (Aesculapius),
setelah Apollo dibunuh oleh Zeus, raja para dewa. Apollo mendapatkan
pengetahuan tentang obat-obatan dari Chiron, bangsa Centaur (manusia
dengan dua tangan dan berbadan kuda, lambang bintang Sagitarius). Dalam
melakukan tugasnya, Asklepios dibantu oleh dua orang putrinya yakni
Hygea dan Panacea. Pada masa itu didirikan balai pengobatan atau
Sanctuary untuk memuja Asklepios dan kedua putrinya. Mereka yang telah
lama mengalami penderitaan akibat penyakit pergi ke kuil dewa Asklepios,
kemudian tidur dengan harapan akan dikunjungi oleh dewa atau putrinya
Hygeia yang membawa ular dan semangkuk obat dalam mimpinya. Ular dan
mangkok tersebut kemudian menjadi simbol farmasi, bahkan telah diadopsi
menjadi simbol ilmu kesehatan. Tongkat Asklepios diadopsi menjadi simbol
kedokteran di seluruh dunia. Selanjutnya, dikenal tumbuhan Panacea yang
dianggap memiliki berbagai khasiat atau dapat menyembuhkan segala macam
penyakit (obat dewa).
Filsafat Yunani dan Pengaruhnya dalam Konsep Kesehatan
Bangsa Yunani adalah bangsa yang pertama kali menguraikan secara
sistematis fenomena di alam dan kedudukan manusia di dalamnya, yang
sekarang dikenal sebagai filsafat. Istilah “philosopher” berasal dari
bahasa Yunani philos (teman) dan sophia ( kebijaksanaan) yang berarti
kebijaksanaan telah terdapat di dalam setiap orang yang berusaha
mencarinya dan kebijaksanaan akan menjadi temannya. Sebagian besar para
filsuf berusaha menjelaskan secara rasional tentang alam dan fenomena
yang terjadi di dalamnya termasuk kaitannya dengan seni pengobatan.
Masalah yang sering dihadapi oleh para filsuf tersebut adalah :
penjelasan rasional apakah yang bisa didapatkan dari asal-usul dunia
dimana manusia hidup di dalamnya dan asal-usul penyakit yang diderita
oleh manusia. Yang paling menarik adalah ide tentang sesuatu yang
esensial dan fundamental di mana segala sesuatu berasal daripadanya.
Berikut ini disenaraikan beberapa filsuf Yunani yang ide dan
pandangannya mempengaruhi konsep kesehatan dan penyakit.
Empedocles (504 SM)
Empedocles mengemukakan ide bahwa ada 4 unsur yang
menjadi akar dari segala sesuatu termasuk tubuh hewan dan manusia yakni :
air, udara, api dan tanah. Teori ini disebut sebagai teori 4 elemen.
Menurut Empedocles dan para pengikutnya sehat merupakan keseimbangan
dari keempat elemen tersebut, sedangkan sakit disebabkan karena
ketidakseimbangan keempat elemen tersebut.
Phytagoras (580-489 SM)
Phytagoras mengemukakan ide bahwa hubungan antara nada dengan lamanya
suatu akor (chord) bervibrasi dapat dinyatakan dalam angka-angka
tertentu. Para pengikut sekte Phytagorean (pengikut Phytagoras)
menghubungkan ide Phytagoras ini dengan angka mistis 7 bangsa
Babylonia-Assyria. Angka 7 (tangga nada do sampai si) dianggap penting
karena menunjukkan adanya hubungan antara 7 planet sebagai simbol 7 dewa
dengan 7 logam yang dikenal saat itu. Diasumsikan bahwa dewa-dewa
mempengaruhi kejadian di bumi termasuk sehat, sakit dan lain sebagainya
melalui planet-planet. Secara bertahap, pengaruh tersebut lebih mengacu
kepada planet-planet itu sendiri, dimana posisi planet-planet tersebut
berhubungan dengan pengaruhnya di bumi. Inilah awal berkembangnya ilmu
astronomi dan astrologi. Dalam kefarmasian bangsa Mesopotamia awal,
astrologi berpengaruh kepada kapan suatu tumbuhan (sebagai bahan obat)
harus dipanen, dan bahkan kapan suatu obat harus diracik.
Hippocrates (460-370 SM)
Hippocrates adalah seorang dokter Yunani yang dihargai karena
memperkenalkan farmasi dan kedokteran secara ilmiah. Dia menerangkan
obat secara rasional, dan menyusun sistematika pengetahuan kedokteran
serta meletakkan pekerjaan kedokteran pada suatu etik yang tinggi.
Pemikirannya tentang etika dan ilmu kedokteran memenuhi tulisan-tulisan
ilmu kedokteran, baik yang ditulisnya sendiri maupun penerusnya. Konsep
dari pandangannya disusun dalam bentuk sumpah Hippocrates, yang
merupakan tata cara dan perilaku untuk profesi kedokteran. Hasil
pekerjaannya termasuk uraian dari ratusan obat-obatan. Sebagai pelopor
dalam ilmu kedokteran dan ajarannya yang memberikan inspirasi serta
falsafahnya yang sudah maju dan merupakan bagian dari ilmu kedokteran
modern, Hippocrates diberi penghargaan yang tinggi dan disebut sebagai
“Bapak Ilmu Kedokteran”.
Di dalam korpus (corpus) atau kumpulan naskah Hippocrates terdapat
konsep keseimbangan 4 cairan tubuh (humor) yang menggantikan konsep 4
elemen Empedocles sebagai faktor penyebab keadaan sehat atau sakit. Di
dalam konsep ini disebutkan bahwa 4 elemen dalam alam seperti : tanah,
udara, air dan api pararel dengan 4 cairan tubuh yang paling berpengaruh
yakni : empedu hitam (black bile), darah (blood), cairan empedu (yellow
bile) dan dahak (phlegm). Keseimbangan dan distribusi keempat cairan
tubuh tersebut sangat penting bagi makhluk hidup.
Pengobatan yang utama menurut kaum Hippocratean (pengikut
Hippocrates) adalah digunakannya bahan-bahan yang memiliki efek purgatif
(pencahar kuat), sudorifik (meningkatkan pengeluaran keringat), emetik
(memuntahkan) dan enema (cairan urus-urus, umumnya disemprotkan ke dalam
anus). Pada intinya bahan-bahan tersebut digunakan untuk mengobati
penyakit yang dipercaya pada saat itu, disebabkan oleh kelebihan cairan
tubuh. Proses penyembuhan tersebut dikenal sebagai pembersihan,
pemurnian atau penyucian tubuh (body catharsis). Konsep ini merubah
makna kata pharmakon sebelumnya, yang mengacu kepada jimat atau
guna-guna (baik menyembuhkan atau meracuni) menjadi bahan-bahan
pembersih atau penyuci tubuh (purifying remedy).
Farmasi Abad Pertengahan
Pada permulaan era agama Kristen terdapat beberapa nama ilmuwan
Yunani dan Romawi yang memberikan berpengaruh terhadap perkembangan ilmu
kedokteran. Berikut ini disenaraikan beberapa nama ilmuwan yang cukup
dikenal tersebut.
Theophrastus (370-285 SM)
Penelitian besar-besaran terhadap tumbuh-tumbuhan (terutama untuk
pengobatan) di dunia Barat pertama kali dilakukan oleh Theophrastus (±
370-285 sebelum Masehi), salah seorang murid Aristoteles. Dia
mengumpulkan berbagai informasi dari para sarjana, bidan, pencari
akar-akaran dan dokter keliling. Pengetahuannya baru bisa disamai 300
tahun kemudian oleh Dioscorides .
Dioscorides (Th 65 M)
Dioscorides adalah dokter Yunani yang juga sebagai ahli botani,
merupakan orang pertama yang menggunakan ilmu tumbuh-tumbuhan sebagai
ilmu farmasi terapan. Hasil karyanya de Materia Medica Libri Quinque,
dianggap sebagai awal dari pengembangan botani farmasi dan dalam
penyelidikan bahan obat yang diperoleh secara alami. Ilmu dalam bidang
ini dikenal sebagai farmakognosi (pharmakon = obat, dan gnosis =
pengetahuan). Banyak sekali obat-obatan yang ditemukannya seperti
aspidium, opium, hyoscyamus dan kina masih digunakan sebagai obat sampai
sekarang. Uraiannya tentang cara pengenalan dan pengumpulan hasil obat
alami, cara penyimpanan yang benar dan cara mengenal pemalsuan atau
pengotoran merupakan standar pada masa itu serta menjadi kebutuhan untuk
pekerjaan selanjutnya dan sebagai petunjuk untuk peneliti berikutnya.
De Materia Medica merupakan ensiklopedi obat standar selama ratusan
tahun berikutnya .
Pliny
Pliny adalah seorang jenderal, duta dan diplomat Romawi yang memiliki
hobi mengumpulkan berbagai pengetahuan ilmiah selama hidupnya. Pliny
merupakan ilmuwan seangkatan dengan Dioscorides yang mempunyai minat dan
sumber yang sama. Pliny menulis ensiklopedi yang diterjemahkan sebagai
Natural History yang sebagian isinya menguraikan tentang obat.
Largus
Scribonius Largus adalah dokter Romawi yang menulis buku
Compositiones sekitar tahun 43 M yang merupakan dispensatorium yang
pertama. Di dalam naskah tersebut diuraikan berbagai simplisia
(simplicia) dan campuran berbagai simplisia/obat (composita).
Galen (131-201 M)
Melalui tulisan dan ajaran Galen, seorang dokter Yunani yang
berpraktek di Roma pada abad ke-2 Masehi, sistem pengobatan berdasarkan
cairan tubuh mencapai kemajuan selama 1500 tahun kemudian. Galen
menguraikan secara panjang lebar suatu sistem yang mengharuskan
mempertahankan keseimbangan cairan di suatu individu yang sakit dengan
menggunakan obat-obatan yang memiliki sifat berlawanan. Sebagai contoh,
untuk mengobati radang atau inflamasi (in = di dalam dan flame = api,
panas) eksternal digunakan mentimun yang bersifat dingin.
Galen telah memberikan pedoman yang bersifat rasional dan sistematis
dalam memilih obat (walaupun pada saat ini dianggap salah). Menurut
Galen, masing-masing keempat cairan tubuh memiliki sifat tertentu, yakni
: darah bersifat lembab dan hangat, dahak (yang dianggap berasal dari
otak) bersifat lembab dan dingin, empedu (yang dianggap berasal dari
hati) bersifat hangat dan kering, serta empedu hitam (yang dianggap
berasal dari limpa dan lambung) bersifat dingin dan kering. Selain itu,
keempat cairan tubuh tersebut mempengaruhi sistem metabolisme dan
temperamen seseorang, seperti melankolis atau sanguinis. Hubungan
tersebut dapat dilihat pada gambar. Dengan mengaitkan antara penyakit
yang diobservasi dengan ketidakseimbangan cairan tubuh tertentu,
obat-obatan dapat diklasifikasikan berdasarkan efek berlawanan yang
ditimbulkan terhadap suatu penyakit. Sebagai contoh, jika dianggap
bagian tubuh yang sakit bersifat lebih hangat 10 satuan dan lebih kering
7 satuan dari normal, maka obat yang diberikan di permukaan tubuh harus
bersifat lebih dingin 10 satuan dan lebih lembab 7 satuan dari normal.
Jika bagian yang sakit letaknya lebih dalam, dibutuhkan penyesuaian
dosis agar obat tidak kehilangan kekuatannya sebelum mencapai target
pengobatan.
Selain itu, Galen telah mengenalkan teknik “perdarahan”, yakni
mengurangi volume darah yang dianggap banyak mengandung penyakit. Teknik
ini diadopsi oleh orang-orang Islam pada jaman berikutnya yang dikenal
sebagai bekam atau pengobatan Nabi (prophetic medicine). Teknik ini
masih dipakai dalam sistem pengobatan Unani (Unani Arabic Medicine)
sampai saat ini. Galen juga menyarankan penggunaan polifarmasi (banyak
obat, sekarang dikenal sebagai “Shotgun Prescription”) dengan argumen
tubuh pasien akan mengeluarkan berbagai obat yang kompleks tersebut
untuk menjaga keseimbangkan cairan tubuh. Saat ini polifarmasi dikenal
sebagai pengobatan yang tidak rasional. Meski demikian, Galen telah
menciptakan suatu sistem yang sempurna mengenai fisiologi, patologi dan
pengobatan serta merumuskan doktrin yang diikuti selama 1500 tahun. Dia
adalah pengarang yang memiliki karya paling banyak di jamannya maupun
jaman lain dan telah mendapat penghargaan untuk 500 buku tentang
kedokteran serta 250 buku lainnya tentang filsafat, hukum maupun tata
bahasa. Karya tulisnya dalam ilmu kedokteran termasuk uraian berbagai
obat-obatan yang berasal dari alam dengan formula dan cara pembuatannya.
Dialah orang pertama yang memperkenalkan teknik mencampur atau melebur
masing-masing bahan. Teknik ini kemudian dikenal sebagai farmasi
Galenik.
Sampai dengan awal abad VI era Kristen, belum terdapat kemajuan ilmu
pengetahuan yang berarti bagi peradaban manusia hingga pada abad XII dan
XIII beberapa ilmuwan Islam memberikan sumbangsih yang besar terhadap
perkembangan ilmu kedokteran dan kefarmasian sampai dengan era
berikutnya. Ilmuwan dan filsuf Islam (Arab) tidak hanya mengadopsi ilmu
pengobatan dan ilmu pengetahuan Yunani tetapi juga melengkapi,
menyempurnakan dan bahkan mengoreksi naskah-naskah ilmuwan Yunani
sebelumnya. Pada masa kejayaan Islam terdapat beberapa nama yang
memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu
kefarmasian. Berikut ini akan diuraikan beberapa ilmuwan Islam yang
karya-karyanya sangat mempengaruhi perkembangan ilmu kefarmasian
berikutnya.
Al-Biruni (Abad XI)
Al-Biruni telah menyusun Materia Medika yang mendeskripsikan lebih
dari 1000 macam simplisia. Selain melengkapi dan memperbaiki naskah
Materia Medika Dioscorides, Al-Biruni telah menambah dan menguraikan
berbagai jenis simplisia yang berasal dari Timur. Pada saat itu ilmu
farmasi merupakan cabang ilmu kedokteran dengan keahlian khusus, yakni
pembuatan dan penyiapan obat-obatan (simplisia).Ibnu Sina (Latin :
Avicenna th 1037 M). Ibnu Sina telah menyusun buku yang berjudul
Qonun fi Al-Tibh yang dikenal di dunia Barat sebagai Canon Medicine.
Buku tersebut menguraikan 760 jenis obat secara komprehensif. Salah satu
jenis obat yang diuraikan adalah obat jantung, yang saat itu belum
banyak dibahas ilmuwan lain. Ibnu Sina merupakan Bapak Kedokteran Islam
yang dihormati baik di dunia Timur dan Barat, seperti halnya ilmuwan
Islam lainnya yang memberikan pengaruh ilmu kedokteran selama beberapa
abad lamanya.Praktek KefarmasianPada jaman berikutnya Islam menjadi
pusat ilmu pengetahuan pada umumnya dan menjadi pusat ilmu kedokteran
dan kefarmasian pada khususnya yang terletak di kota Baghdad, Iraq. Pada
saat itu Baghdad merupakan kota metropolis yang menjadi pusat
perdagangan dan ilmu pengetahuan. Toko-toko obat, rempah-rempah dan
parfum banyak bermunculan di jantung kota, demikian juga praktek-praktek
dengan spesialisasi tertentu juga banyak bermunculan seperti halnya
rhizotomii (pengumpul dan ahli rimpang atau jahe-jahean), seplasiarii
(ahli parfum atau wangi-wangian) dan unguentarii (ahli salep) pada jaman
Yunani kuno. Pada saat itu dikenal istilah Al-Attar, yakni orang yang
ahli dalam rempah-rempah dan wangi-wangian. Di antara berbagai praktisi
tersebut dikenal praktisi pengobatan yang terdidik yang disebut
Sayadilah. Sayadilah mendapatkan ijin praktek khusus obat-obatan dari
Muhtasib (penguasa setempat). Mereka memiliki toko untuk menjual
simplisia obat (Apotek), kebun Materia Medika sebagai bahan baku
simplisia obat serta laboratorium untuk meracik sediaan obat seperti
halnya pil, plester atau sediaan galenika. Pada saat itu ilmu
kefarmasian merupakan seni mengetahui Materia Medika dalam berbagai
jenis dan bentuk. Sayadilah merupakan cikal bakal profesi farmasis
(Apoteker) saat ini.
Nah, gimana teman-teman?? Keren kan sejarahnya??
Semoga postinganku kali ini bermanfaat buat teman-teman semua. Jangan bosan-bosan ngunjungin blog ku yaaa... ;-)
Semoga postinganku kali ini bermanfaat buat teman-teman semua. Jangan bosan-bosan ngunjungin blog ku yaaa... ;-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar